Kamis, 28 Januari 2010

SUGUHAN BOSSCHA UNTUK DUNIA

31 Maret 2008 · & Komentar

Layaknya sebuah dongeng, cerita mengenai Karel Albert Rudolf Bosscha tertutur dari mulut ke mulut. Metoda pewarisan ini terbukti ampuh meski Bosscha telah lama tiada.
Oleh Cornelius Helmy
Sumber : Kolom Wisata Kompas 15 Maret 2008
Itu merupakan salah satu cerita yang paling dikenang Mak Onah (85), seorang penghuni perkebunan Malabar. Menurut cerita yang didengar dari sanak saudaranya, ketika Bosscha meninggal dunia, raja teh itu diantar ribuan warga. Iring-iringan lebih dari 5 kilometer. Semua baik orang Eropa maupun Pribumi, merasa kehilangan administratur yang bersahaja itu.
“Semasa hidupnya, Tuan Bosscha memang tidak seperti orang Belanda kebanyakan ketika itu. Meski menjabat sebagai administratur perkebunan, sikap rendah hati membuatnya dicintai para pekerja,” katanya.
Bosscha juga memperhatikan kesejahteraan Pribumi, dari masyarakat pekerja teh Malabar hingga warga di Kota Bandung. Sumbangsihnya antara lain pabrik teh di Malabar, Institut Teknologi Bandung, Gedung Merdeka, dan peneropongan bintang di Lembang.
“Meski begitu, Tuan Bosscha paling senang tinggal di perkebunan teh Malabar. Ia sering datang ke sini untuk beristirahat memandang hamparan kebun teh dari puncak tertinggi Malabar, Gunung Nini. Bahkan menjelang wafatnya, Tuan Bosscah memilih beristirahat selamanya di Malabar.” Kata Mak Onah.
Bosscha menjabat sebagai administratur dari tahun 1986 hingga meninggal dunia tahun 1928. Jejak sejarah Malabar pun bergulir di perkebunan yang berada di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, sekitar 53 Kilometer dari kota Bandung. Sempat berubah menjadi kebun jagung, ubi, dan sayur di zaman Jepang, hingga kini kepemilikan dikelola Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII. Luas areal perkebunan Malabar tahun 2004 adalah 2.022,11 hektar. Areal tanaman yang dihasilkan sebanyak 1.318,26 hektar.
Wisata Alam
Tidak sekedar cerita, jejak Bosscha masih tertinggal di Malabar. Hal itu ternyata menarik banyak kalangan menelusuri jejaknya di Malabar. Salah satu yang paling dekat dengan Bosscha adalah rumah peristirahatan pribadi yang dibangun bersamaan dengan kebun teh Di dalama rumah yang dilengkapi ruang bawah tanah ini, Bosscha sering menghabiskan waktu.
Jejak lain bisa dilihat pada bumi hideung (rumah hitam). Rumah dari bilik berlapis aspal ini diperuntukan bagi pionir pekerja teh pertama. Kini rumah ini ditempati Mak Onah bersama anaknya.
Sementara itu, Gunung Nini menjadi tempat bagi Bosscha untuk melihat hamparan kebun the. Namun, sangat disayangkan, kini keasliannya sedikit tergores. Dipuncak Nini berdiri menara telepon yang cukup mengganggu keasrian tempat itu.
Bumi hideung bukanlah satu-satunya bentuk perhatian Bosscha kepada pekerja. Dia juga membangun pasar dan sekolah dasar yang bangunannya masih berdiri ditengah hamparan kebun teh.
“Sebenarnya ada Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Cilaki dan PLTA Citamanga yang dibuatnya bersama dengan kebun teh ini. Namun, akses jalannya jelek. Kalau tidak naik mobil bergardan ganda, jalan sangat sulit dilalui” kata Suhara, penaggung jawab lapangan perkebunan Malabar.
Tidak hanya wisata sejarah. Bagi mereka yang sekedar memlepas lelah, Malabar juga menyediakan suguhan lain, misalnya panorama asri khas perkebunan teh.
Khusus perkebuanan teh, ada satu pesan Bosscha yang masih terkenang, yakni dia melarang penebangan pohon atau penangkapan burung yang ada di sana. “Jangan ambil burung atau pohon untuk di jual atau sebagai bahan bangunan. Kalau tidak punya uang, saya kasih uang untuk biaya hidup,” kata Eny (48), salah seorang pemetik the, warga perkebunan Malabar.
Di perkebunan teh Malabar, Program Tea Walk menjadi andalan. Pengunjung misa memilih rute perjalan 4-8 kilometer. Selepas perjalanan mengelilingi kebun teh, otot pengunjung bisa dikendurkan dengan berendam di kolam air panas Tirta Camelia. Anak anak hingga orang dewasa berendam di kolam atau enam kamar.
Lelah berkeliling kebun teh, bagi pengunjung yang ingin menginap, tersedia sembilan kamar di guest house. Tarif kamar per malam Rp 176.000-Rp 385.000. Setiap kamar hanya bisa diisi dua orang.
Ada pula Wisma Melati yang menampung pengunjung dalam rombongan besar. Tarifnya Rp 200.000-Rp 300.000 per kamar. Setiap kamar dapat menampung 50 orang.
Di sana disediakan pula areal camping di Bumi Perkemahan Sukaratu dan Malabar. Bahkan yang ingin berolahraga sembari menikmati dinginnya udara Malabar bisa memanfaatkan lapangan tenis di Tanara dan lapangan sepak bola Babakan, yang letaknya sekitar 5 kilometer dari rumah Bosscha.
Bagi mereka yang ingin belajar meracik teh warisan Bosscha, PTPN VIII juga menyediakan wisata ilmiah di beberapa tempat, diantarnya mengunjugi pabrik pengolahan teh perkebunan Malabar dan pabrik Blending Plant Detail. Pengunjung bisa melihat proses pengolahan daun teh berwarna hijau hingga werwarna lebih gelap dan siap dinikmati.
“Hingga kini kabar dari mulut ke mulut masih menjadi andalan. Banyak pengunjung asing atau lokal datang karena mandapat kabar dari teman atau koleganya. Sejauh ini cara itu sangat besar peranannya bagi perkebunan teh Malabar,” kata Suhara.
Kategori: Artikel · Pangalengan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar