Penanganan Banjir Tak Terintegrasi
Warga Mengaku Sudah Bosan Menyelamatkan Diri
BANDUNG, KOMPAS — Banjir yang melanda sejumlah daerah di Kabupaten Bandung setiap tahun seolah bukan lagi menjadi bencana, melainkan peristiwa biasa. Penanganan pemerintah di tingkat daerah dan pusat terhadap bencana tahunan ini pun kurang maksimal. Warga lagi-lagi menjadi korban dari kebijakan penanganan bencana yang tidak terumuskan dengan baik.
Hal itu diakui Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bandung Triska Hendriawan, Minggu (3/1). “Penanganan banjir di Kabupaten Bandung memang belum terintegrasi dengan baik. Pemerintah Kabupaten Bandung, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan pemerintah pusat berjalan sendiri-sendiri tentang penanganan banjir ini sehingga tidak ada titik temu,”katanya.
Persoalan banjir di Kabupaten Bandung menjadi persoalan pelik bagi pemerintah di tingkat daerah hingga pusat sebab hal itu berkaitan dengan luapan Sungai Citarum. Sungai itu berstatus nasional sehingga penanganannya adalah kewenangan pusat.
Namun pemerintah di daerah, lanjut Triska, memang tidak bisa tinggal diam ketika terjadi banjir di daerah-daerah yang dilintasi Citarum. Sebab, korban banjir itu juga adalah warga daerah. Setiap kali banjir merendam kawasan Desa Baleendah di Kecamatan Baleendah dan Desa Majalaya di Kecamatan Majalaya, pemerintah daerah adalah yang pertama kali bertanggung jawab menangani korban banjir.
Karena belum terintegrasi, penanganan banjir pun terkesan masih setengah-setengah. Pascabanjir, warga dengan inisiatif sendiri mengungsi ke tempat pengungsian yang biasa mereka tuju. Bantuan makanan dari pemerintah daerah setempat berupa nasi bungkus pun mengalir ke tempat pengungsian. Adapun Taruna Siaga Bencana mengerahkan perahu untuk mengevakuasi korban yang belum mengungsi dari rumah mereka.
Warga Bosan
Rutinitas ini berlangsung terus setiap tahun tanpa ada perubahan berarti. Sejumlah warga pun mengaku sudah bosan menyelamatkan diri dari banjir. “Sudah setiap tahun rumah saya kebanjiran. Bingung harus berbuat apa lagi karena rumah saya dijual pun tidak laku karena berada di lokasi banjir,” ujar Anna (52), ibu emapat anak yang tinggal di RT 2 RW 20, Desa Baleendah.
Sajaah (24), warga lainnya, mengaku tidak memiliki pilihan lain selain bertahan di Baleendah. Keluarganya tidak memiliki biaya untuk berpindah rumah.
Triska berpendapat, upaya komprehensif harus dilakukan untuk mengatasi banjir tahunan di Kabupaten Bandung. “Perbaikan kawasan hulu yang rusak menjadi jalan keluar yang terbaik. Namun, hal itu memerlukan waktu yang lama sehingga relokasi sebenarnya menjadi jalan tengah guna menghindarkan warga dari banjir,” ujarnya.
Warga menanggapi usulan relokasi secara beragam. Jaja, Ketua RW 20 Desa Baleendah, mengatakan, sejumlah warga ada yang menolak relokasi. Alasannya, mereka khawatir lokasi yang baru jauh dari tempat kerja dan kondisinya tidak lebih baik dari lokasi awal.
Meski demikian, warga mengharapkan upaya pemerintah guna memperkecil risiko banjir. Jaja mengusulkan, pemerintah melanjutkan pembangunan tanggul di bantaran Citarum yang berbatasan dengan Desa Baleendah. “Masih ada 100 meter lagi bantaran sungai yang belum ditanggul. Warga bersama pihak swasta sebelumnya telah membangun tanggul sepanjang 400 meter,” katanya.
Sumber : Kompas Cetak, Senin, 4 Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar